Legowolah, Djohar...!
Malu...! Yah...itulah kata yang paling pas untuk diucapkan oleh rakyat Indonesia melihat hasil pertandingan Kualifikasi Pra Piala Dunia 2014 antara Bahrain Vs Indonesia. Skor yang cukup telak, 10 - 0, telah kembali menurunkan pamor citra sepakbola Indonesia yang 2 tahun terakhir ini perlahan mulai bangkit sejak diarsiteki oleh Alfred Riedl. Hasil ini merupakan hasil terburuk selama PSSI mulai berdiri pada tahun 1930. Sontak para penggila dan pemerhati bola di Indonesia dan dunia, termasuk Rio Ferdinand, menyuarakan keprihatinannya atas kekalahan memalukan ini.
Akan tetapi, kondisi ini ternyata tidak serta-merta menjadi momen introspeksi diri bagi kepengurusan PSSI di bawah komando Djohar Arifin Husin. PSSI boleh saja berkilah bahwa itu adalah "cambuk" (meminjam kata Saleh Mukaddar pada wawancara eksklusif di Metro TV pada 2 Maret 2012) bagi PSSI untuk segera memperbaiki diri. Namun, apakah solusi itu yang paling tepat? Saya yakin tidak. Karena seluruh rakyat Indonesia telah paham, bahkan sangat paham, bahwa kekalahan atas Bahrain tersebut dikarenakan kualitas pemain yang kurang memuaskan. Betapa tidak...sebagian besar pemain yang dipanggil memperkuat timnas saat bertanding melawan Bahrain adalah pemain yang berkiprah di IPL dan berusia masih sangat muda. Bahkan, sebagian di antaranya belum pernah memiliki pengalaman bermain di level timnas. Apakah Indonesia tidak punya pemain berkualitas? Oooo...buanyaakk...! Akan tetapi, amburadulnya sepakbola Indonesia, yang dipicu oleh ketidakbecusan PSSI mengurusnya, menyebabkan banyak pemain berkualitas Indonesia memilih bermain di Indonesian Super League (ISL) yang notabene tidak diakui oleh PSSI. Konsekuensi yang diterima oleh para pemain yang berlaga di ISL adalah tidak diperbolehkan membela timnas. Alhasil, yang dipanggil masuk timnas adalah pemain-pemian muda usia dan minim pengalaman.
Kekalahan atas Bahrain ini tidak lantas membuat PSSI segera melakukan evaluasi diri. Masih saja dengan jawaban-jawaban ala politisi yang selalu menjawab dengan jawaban yang sangat diplomatis. Tidak pernah terlintas dalam benak pengurus PSSI untuk mengajukan pernyataan kepada dirinya sendiri, "Hmm..sepertinya sudah saatnya saya turun. Saya merasa tidak bisa memberikan yang terbaik untuk memajukan persepakbolaan bangsa Indonesia". Yah...tidak pernah sekalipun kalimat ini terlintas di pikirannya.
Ahh..seandainya saja pengurus PSSI sadar, sebenarnya sih sudah sadar, maka tidak akan seperti ini persepakbolaan Indonesia. Pelatih-pelatih terbaik didepak. Alfred Riedl ditendang. Padahal pelatih asal Austria inilah yang pertama kali mengembalikan rasa nasionalisme bangsa di lapangan sepakbola. Alfred Riedl lah yang telah menyatukan pemain-pemain hebat sekelas Christian Gonzales, Zulkifli Syukur, M. Ilham, Firman Utina, M. Ridwan, dan lain-lain, di lapangan. Tetapi, pada saat kepercayaan diri timnas mulai membaik, Alfred Riedl didepak dan digantikan oleh Wim Rijsbergen hanya karena alasan kontrak. Begitu pula dengan Rahmad Darmawan. Pelatih lokal terbaik Indonesia ini pun harus mengundurkan diri karena perilaku 'egois' yang dimiliki oleh PSSI. Coach Rahmad tidak diperbolehkan merekrut pemain timnas dari kompetisi ISL karena dianggap ilegal. Anak-anak terbaik bangsa pun dilarang tampil membela timnas jika bermain di liga ISL.
Sebenarnya..harus seperti apalagi yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia agar PSSI benar-benar tahu kesalahannya. Sekali salah..oke. Dua kali..masih oke. Tapi, kalo sudah ke-3 kali, wah benar-benar 'kebal' jika tidak mau introspeksi dan evaluasi diri. Merasa diri paling mampu, itulah mungkin yang dirasakan oleh PSSI rezim Djohar ini.
Akhirnya, kepada pengurus PSSI, legowolah. Sudahlah...! Apalagi yang ditunggu...! Mengundurkan diri saja...! Anda tidak akan dicerca, dimaki, dan diteriaki jika Anda bisa legowo terhadap kenyataan bahwa Anda tidak mampu. Anda justru akan menjadi pemenang atas nafsu berkuasa Anda jika Anda mau mengalah. Kan, tidak selamanya orang mengalah itu kalah...!
Komentar
Posting Komentar