Graduate Faculty Representative (GFR)
Insyaa Allah tanggal 20 Maret 2014, sebulan lagi, saya akan menapaki salah satu momen bersejarah dalam hidup saya. Tepat di tanggal itu, saya harus mempertahankan tesis yang telah saya buat terkait dengan penelitian yang saya lakukan. Ribuan harapan menggema. Di saat yang sama, rasa cemas membayangi.
Sebagaimana biasanya, defense seminar saya akan menjadi patokan apakah saya pantas menyandang gelar master atau tidak. Dalam seminar itu pula, hal-hal yang telah saya lakukan selama kurang lebih 2 tahun harus dipertanggungjawabkan.
Format sidang S2 di sini tidak berbeda jauh dengan di tempat lain. Ada major advisor dan ada juga committee member. Major advisor adalah professor yang menjadi tempat saya “berkeluh-kesah” selama ini terkait dengan penelitian saya. Adapun committee member adalah mereka yang ditunjuk sendiri oleh sang mahasiswa untuk menguji tesis yang ada. Committee member minimal harus berjumlah 2 orang, sehingga total dewan penguji adalah 3 orang.
Dalam sidang, satu jam pertama sang mahasiswa harus melakukan presentasi secara terbuka di hadapan seluruh audiens yang hadir dalam seminar kita. Setelah itu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Nah, setelah bagian ini selesai, audiens yang lain dipersilakan keluar ruangan, kecuali 3 orang dewan penguji dan 1 orang graduate faculty representative. Sesi sidang kemudian dilanjutkan dengan closed defense section.
Apa itu graduate faculty representative (GFR)? Posisi ini cukup penting untuk menjamin jalannya sesi closed defense berjalan sesuai aturan. Lagi-lagi mahasiswa diberikan keleluasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi GFR-nya. GFR memiliki peranan penting untuk mengawasi jalannya sidang tertutup mahasiswa. Hal terpenting yang akan menjadi tugas GFR adalah tidak terjadinya “harassment” terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh tim penguji. Tidak boleh ada penghinaan atau apapun yang tidak sesuai dengan etika akademik.
Hal ini merupakan hal yang baru bagi saya. Selama ini, sebagai dosen, kita kadang “menikmati” saat mahasiswa yang kita uji menangis. Tidak jarang ada penguji yang marah-marah dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang menyakitkan hati sang mahasiswa. Tidak jarang ada mahasiswa yang pingsan karena adanya tekanan yang muncul saat ujian berlangsung.
Saya berpikir bahwa kebijakan GFR ini menjadi salah satu kebijakan yang sangat baik untuk mengawasi proses-proses yang berlangsung dalam sebuah ujian sidang agar berjalan sesuai etika akademik yang ada. Dengan begini, diharapkan tekanan-tekanan yang muncul saat ujian berlangsung bisa diminimalisir, sehingg mahasiswa bisa “menikmati” ujiannya.
Salam.
Komentar
Posting Komentar