Mengenal Gas Sarin
Pemerintah Suriah pimpinan Bashar
Al-Assad kembali memborbardir warganya di Idlib. Tidak dengan serangan bom
konvensional atau rudal-rudal yang dilepaskan dari pesawat-pesawat pengebom,
kali ini pemerintah Suriah menghabisi warganya dengan serangan gas mematikan
yang disebut sebagai gas sarin.
Gas sarin adalah salah satu gas
berbahaya dan memiliki daya mematikan melebihi sianida pada dosis yang sama.
Gas ini telah menjadi sejarah buruk penggunaan senjata kimia sejak perang dunia
ke-2 dan masih tetap menjadi pilihan senjata kimia yang digunakan beberapa
pihak untuk menimbulkan kematian massal. Berita disertai gambar yang dirilis
oleh berbagai media internasional menunjukkan betapa gas ini memang
menghasilkan efek mematikan sekaligus memilukan. Mayat bergelimpangan. Orang
tua kehilangan anak; anak kehilangan orang tua; istri kehilangan suami; suami
kehilangan istri. Sangat memilukan.
Saya tidak akan masuk terlalu jauh
pada aspek atau latar belakang di balik kebiadaban ini. Saya tertarik mengulas
tentang mekanisme gas sarin sehingga dapat menghasilkan efek letal yang begitu
hebat dan massal.
Gas sarin adalah salah satu gas
saraf yang bekerja pada sistem saraf otonom. Sistem saraf ini adalah sistem
saraf yang bekerja di luar kendali atau kesadaran manusia. Sebagai contoh,
kerja organ jantung yang tidak dipengaruhi kesadaran manusia. Pada kondisi ini,
manusia tidak memiliki kendali untuk mengontrol denyut jantung. Contoh lain
adalah aktivitas pupil mata. Jika cahaya sangat terang, maka secara otomatis
pupil akan mengecil (miosis). Sebaliknya, jika cahaya redup, maka pupil akan
melebar (midriasis).
Sistem saraf otonom terbagi atas 2
divisi utama yaitu saraf parasimpatis dan saraf simpatis. Ke-2 divisi saraf ini
mempersarafi organ-organ tubuh yang bekerja di luar kendali manusia. Secara
umum, ke-2 divisi saraf ini bekerja secara berlawanan. Contoh yang dapat kita
ambil adalah kasus pupil mata di atas. Pengecilan pupil mata akibat cahaya yang
terlalu kuat intensitas sinarnya dipicu oleh kerja dari sistem saraf
parasimpatis, sedangkan pupil yang mengalami pelebaran dipengaruhi oleh sistem
saraf simpatis. Contoh lain adalah aktivitas sistem pernafasan, misalnya
bronkus. Jika sistem saraf simpatis diaktifkan, maka bronkus relatif mengalami
pelebaran, sehingga pernafasan menjadi lebih lega. Sebaliknya, jika bronkus
diaktifkan oleh sistem saraf parasimpatis, maka justru penyempitan bronkus yang
akan terjadi dan akan memicu sesaknya nafas.
Untuk menghasilkan efek-efek di
atas, baik sistem saraf simpatis maupun parsimpatis menghasilkan senyawa kimia
yang disebut neurotransmiter. Pada dasarnya, efek-efek yang muncul di atas
adalah hasil dari interaksi antara neurotransmiter dan reseptor. Ikatan antara
neurotransmiter dan reseptornya akan memicu serangkaian reaksi kimiawi yang
pada akhirnya memicu efek-efek yang bersesuaian. Neurotransmiter utama simpatis
disebut sebagai epinefrin dan neurotransmiter parasimpatis adalah asetilkolin.
Terkait reseptor, sistem saraf
parasimpatis memiliki 2 jenis reseptor utama yaitu reseptor muskarinik dan
reseptor nikotinik. Reseptor muskarinik dominan terdapat di sistem persarafan,
sedangkan reseptor nikotinik sebagian terdapat di saraf parasimpatis dan
sebagian lagi terdapat di otot (neuromuscular – neuro = saraf; muscular = otot).
Sederhananya, jika asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik, maka
aktivitas sistem saraf parasimpatis di area sinaps akan meningkat. Sebaliknya,
jika asetilkolin berikatan dengan reseptor nikotinik, maka efek pada kinerja
otot yang akan dominan, misalnya otot akan mengalami kontraksi berlebihan.
Selanjutnya, untuk menjamin agar
efek-efek di atas tidak bertahan lama, maka diperlukan suatu mekanisme untuk
segera mengakhiri efek yang muncul. Tidak ada yang ingin pupil matanya mengecil
terus kan? Tidak ada yang ingin
pernafasannya tertekan terus-menerus kan?
Dan tidak ada yang ingin otot-ototnya berkontraksi dan mengeras terus-menerus kan? Untuk menghindari kejadian ini,
maka setelah “melaksanakan tugasnya” neurotransmiter perlu segera dinon-aktifkan
agar efek yang dihasilkan tidak bertahan lama.
Lantas bagaimana cara
menon-aktifkan kerja asetilkolin yang berlebihan tersebut? Asetilkolin akan
diinaktifkan melalui kerja enzim yang disebut asetilkolinesterase. Enzim ini
akan mengkatalisis perubahan asetilkolin menjadi 2 metabolit utama yaitu kolin
dan astetat. Setelah asetilkolin diuraikan, maka efeknya pun akan menghilang,
sehingga efeknya tidak permanen.
Inilah kata dan proses kuncinya.
PENGURAIAN ASETILKOLIN.
Gas sarin menimbulkan efek
mematikan melalui penghambatan pada proses penguraian asetilkolin. Kenapa bisa
asetilkolin tidak mampu diuraikan? Karena asetilkolinesterase dihambat kerjanya
oleh sarin. Gas sarin berikatan kuat dengan asetilkolinesterase, sehingga enzim
ini tidak mampu lagi bekerja menguraikan asetilkolin. Apa yang terjadi
selanjutnya? Jelas menakutkan…! Karena asetilkolin tidak dapat diuraikan atau
dirusak, maka efek yang terjadi akan bertahan lama.
Seperti telah disampaikan di atas,
beberapa efek yang bakal diderita oleh mereka yang terpapar gas sarin adalah:
1.
Denyut
jantung melemah
2.
Produksi
air mata dan air liur
3.
Pupil
mata mengecil
4.
Produksi
dahak meningkat
5.
Penyempitan
saluran nafas
6.
Otot
jantung mengalami kontraksi berlebihan
Efek-efek di atas menjadi sangat
menakutkan jika tidak segera didapatkan penawarnya. Lantas apa yang dapat
menjadi pertolongan pertama pada mereka yang mengalami keracunan gas sarin?
Pada dasarnya, ada 2 senyawa yang sering digunakan untuk mengatasi kasus
keracunan sarin.
Atropin
Senyawa
ini diberikan untuk mengatasi kasus keracunan sarin melalui mekanisme
“perlawanan” terhadap efek yang dihasilkan sarin. Prinsipnya, atropin akan
memunculkan efek kebalikan dari efek yang dihasilkan sarin. Sebagai contoh,
jika sarin menimbulkan efek denyut jantung melemah, maka atropin bekerja
meningkatkan denyut jantung; jika sarin memproduksi efek pengecilan pupil mata,
maka atropin berperan untuk melebarkan pupil mata. Jika sarin menyempitkan
saluran nafas, maka atropin bekerja melebarkan saluran nafas.
Pralidoksim
Berbeda dengan atropin, pralidoksim bekerja tidak dengan menghasilkan
efek “perlawanan” terhadap sarin. Pralidoksim bekerja lebih spesifik kepada
ikatan antara gas sarin dan enzim asetilkolinesterase. Senyawa -oksim ini akan
melepaskan ikatan gas sarin dari enzim asetilkolinesterase. Dengan mekanisme
ini, asetilkolinesterase akan berfungsi kembali, sehingga asetilkolin dapat
segera diuraikan. Efek yang terjadi pun akan dapat segera diakhiri.
Komentar
Posting Komentar