Politik “Bocor-Bocoran”
Dua pekan terakhir, rakyat Indonesia 
disuguhi oleh beberapa tontonan yang membuat degup jantung semakin 
kencang. Entah mengapa, saya pun merasa gemas setengah mati menyaksikan 
berbagai anomali yang dilakukan oleh para petinggi di republik ini. Bagi
 sebagian orang, tontonan ini begitu mengasyikkan, tetapi bagi pihak 
lain justru membuat kening mengernyit.
Apa tontonan itu?
Apalagi kalo bukan isu bocor… bocor… dan bocor. Yah…beberapa
 elit sekarang sedang doyan-doyannya main “bocor-bocoran” dokumen yang 
seharusnya menjadi rahasia rumah tangga sehingga patut dijaga sebaik 
mungkin. Namun, ini bukan sekedar “bocor-bocoran” biasa, tetapi ini 
“bocor-bocoran” yang bisa menentukan kelanjutan dan kejelasan nasib 
orang lain. Apakah selamat dalam menghadapi badai atau justru kalah 
tersungkur dan menjadi pesakitan.
Kebocoran ini tidak hanya terkait 
kecerobohan, menurut sebagian orang, tetapi ini sudah masuk ranah 
politik. Artinya, mereka sengaja melakukan aktivitas “membocorkan” demi 
untuk meraih suatu kepentingan politis tertentu. Ironisnya, mereka 
melakukannya seakan tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal yang 
namanya bocor, pasti identik dengan sesuatu yang negatif. Tak percaya? 
Siapa sih yang ingin atap rumahnya bocor, ban sepeda motornya 
bocor, jantungnya bocor, bahkan sampai, maaf, kondom yang dikenakan 
bocor. Hehe. Nggak ada kan?
Namun, justru dalam 2 pekan terakhir 
ini, sepertinya aktivitas “bocor-bocoran” ini begitu dinikmati oleh 
beberapa orang di negeri ini. Saya menyebutkan sebagai politik 
“bocor-bocoran” karena apa yang dilakukannya ini memang sangat bermuatan
 politis demi memuluskan jalannya ke arah kekuasaan.
Anas Urbaningrum (AU) menjadi korban 
politik bocor-bocoran ini. Sprindik untuk menetapkan AU sebagai 
tersangka beredar luas di khalayak. Padahal, menurut Adnan Pandu Praja, 
salah seorang komisioner KPK, sprindik itu tidak diawali dengan gelar 
perkara. Belum lagi sprindik itu hanya mencantumkan 3 tanda tangan 
komisioner dari 5 komisioner yang ada. Apa artinya? Walaupun sprindik 
itu asli, tapi dengan 2 alasan di atas, sprindik itu batal karena 
bertentangan dengan aturan yang ada.
Publik meyakini bahwa ada pihak-pihak di
 KPK yang sedang main bocor-bocoran. Saya pun yakin bahwa orang di KPK 
yang membocorkan sprindik itu tahu akan kelemahan sprindik itu. Namun, 
sekali lagi, karena ini berada di ranah politik, maka sprindik itu 
diduga sengaja tetap dibocorkan demi kepentingan politis pihak tertentu.
 Dan semua itu sudah bisa terbaca.
Kebocoran selanjutnya adalah kebocoran 
presensi yang dilakukan oleh setjen DPR terhadap Ibas. Mungkin ini 
contoh yang terlalu dipaksakan. Tetapi, bagi saya hal ini bisa juga 
disebut sebagai kebocoran karena seharusnya presensi yang ada itu harus 
ditandatangani sesuai aturan yang ada (datang ke tempat presensi dan 
hadir rapat). Namun, apa yang terjadi? Justru presensi itu “bocor” 
dengan mudahnya ke tempat lain. Parahnya lagi, Ibas tidak mengikuti 
rapat walaupun tanda tangannya termaktub di presensi sidang.
Terus dimana sisi politisnya? Ada yang 
mengatakan bahwa pengunduran diri Ibas pasca diblow-upnya presensi 
bodong itu bukan murni karena Ibas sudah ketahuan melakukan tindakan 
tercela ini. Jika memang karena hal ini, maka seharusnya sudah dari dulu
 Ibas mengundurkan diri. Mengapa? Karena saya sangsi Ibas baru sekali 
itu setor tanda tangan dan berlalu pergi. Analisa lain, Ibas sengaja 
mengundurkan diri karena memang dipersiapkan untuk suatu manuver politik
 menjelang rapimnas partai Demokrat tanggal 17 Februari mendatang. 
Singkatnya, ‘kebocoran’ presensi itu bisa saja disengaja agar punya 
alasan rasional mengundurkan diri demi sesuatu yang tersembunyi dan 
lebih besar lagi.
Dugaan bocornya surat cekal KPK kepada 
Ridwan Hakim, anak Hilmi Aminuddin menjadi contoh selanjutnya. Apa 
pasal? Ternyata, sehari sebelum surat cekal itu diteken, anak ketua 
Dewan Syuro PKS ini melenggang ke Turki. Nah, untuk kasus yang satu ini,
 jika dugaan itu benar, sepertinya cenderung kepada tindakan kriminal. 
Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa politisi atau elit di 
negeri ini sukar dibedakan dengan penjahat.
Dugaan bocornya surat cekal ini 
menjadikan KPK kebakaran jenggot. Walaupun sudah dibantah akan adanya 
kebocoran, tetapi wajar saja publik bertanya-tanya tentang sesuatu yang 
bisa dibilang kebetulan yang dipaksakan ini. Pas mo keluar surat cekal, eh…pas ada di Turki. Kan ini kebetulan namanya. Hehe.
Salam Bocor.
Komentar
Posting Komentar